Rano Tilaar: Dari Kopassus ke Gubernur Akmil, Menempa Generasi Pemimpin dengan Nurani

PAGI itu, udara Magelang masih dingin, lembab, dan tenang. Di lapangan Bhakti Taruna, derap langkah para calon perwira muda TNI AD terdengar ritmis. Barisan mereka tegap, pandangan lurus ke depan. Di ujung lapangan, sosok berseragam hijau tua berdiri mengamati tanpa banyak bicara — tatapannya tajam, namun teduh. Ia adalah Mayjen TNI Rano Maxim Adolf Tilaar, Gubernur Akademi Militer (Akmil) yang baru.

Di balik sosok tegasnya, ada kisah panjang tentang dedikasi, tempaan, dan filosofi hidup yang dalam: bahwa menjadi pemimpin bukan sekadar soal pangkat, tetapi soal tanggung jawab untuk membentuk manusia lain menjadi lebih baik.

Jejak Langkah Seorang Prajurit Kopassus

Lahir di Banjarmasin pada 4 Juni 1969, Rano Tilaar menapaki jalan militernya dengan tekad yang bulat. Tahun 1993, ia lulus dari Akademi Militer Magelang — kampus yang kini ia pimpin. Sejak awal kariernya, Tilaar bukan sekadar seorang tentara lapangan. Ia dikenal sebagai prajurit yang senang berpikir strategis, tenang dalam tekanan, dan disiplin dalam nilai.

Kariernya banyak dihabiskan di satuan elit Kopassus, tempat di mana disiplin, keberanian, dan loyalitas diuji sampai ke batas paling ekstrem. Di sinilah karakternya ditempa. Dari operasi khusus hingga misi intelijen, Tilaar belajar bahwa kemenangan tidak selalu datang dari kekuatan, melainkan dari kecerdasan membaca situasi.

“Medan tempur bisa berubah, teknologi bisa berkembang. Tapi nilai-nilai prajurit tidak boleh luntur,” ujarnya dalam satu kesempatan.

Rano Tilaar Gubernur Akademi Militer
Mayjen TNI Rano Maxim Adolf Tilaar, Gubernur Akademi Militer (Akmil)

Dari Intelijen ke Pendidikan Militer

Rano Tilaar dikenal di kalangan militer sebagai sosok “tiga dimensi”: ia prajurit, pemikir, dan pendidik. Setelah bertahun-tahun di dunia operasi, ia dipercaya mengemban berbagai jabatan strategis — mulai dari staf ahli, perwira bidang telik sandi (intelijen), hingga tenaga pengajar bidang strategi pertahanan di Lemhannas RI.

Ketika kemudian ditugaskan sebagai Gubernur Akmil pada Juli 2025, Tilaar membawa misi yang lebih besar: menyiapkan generasi perwira muda untuk dunia yang berubah cepat. Dunia di mana perang bukan hanya terjadi di medan fisik, tapi juga di ruang siber, ruang opini, dan ruang ideologi.

Bagi Tilaar, pendidikan militer bukan sekadar soal membentuk ketangkasan fisik. Ia menekankan pentingnya literasi digital, ketahanan moral, dan nasionalisme adaptif. Taruna harus tangguh di lapangan, tapi juga cerdas dalam berpikir dan bijak dalam bersikap.

“Zaman berubah, tapi semangat Sapta Marga tetap jadi napas taruna. Mereka harus siap bertempur, tapi juga siap berpikir,” kata Tilaar dalam pidatonya di hadapan ratusan taruna di Magelang.

Kepemimpinan yang Tegas tapi Humanis

Berbeda dari gaya komando lama yang keras dan kaku, Tilaar dikenal membawa kepemimpinan yang humanis tapi disiplin. Ia tak segan memberi teguran jika ada pelanggaran kecil, tapi juga sering terlihat berbicara santai dengan para taruna selepas apel.

Bagi Tilaar, pendidikan militer harus mengajarkan empati. Seorang pemimpin, katanya, bukan hanya ditakuti, tetapi juga dihormati karena keadilannya.

“Menjadi pemimpin itu bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling bisa dipercaya.”

Prinsip itu membuat suasana Akmil kini terasa lebih terbuka, dinamis, dan inspiratif. Tilaar mendorong inovasi: taruna diberi ruang berdiskusi, mengembangkan ide, dan berlatih kepemimpinan berbasis kolaborasi.

Ia percaya, perang masa depan menuntut tentara berpikir cepat, bukan hanya menunggu perintah. Dan itu, hanya bisa lahir dari pendidikan yang membebaskan namun terarah.

Menjaga Api Kebangsaan di Era Digital

Dalam berbagai seminar dan kegiatan kebangsaan di Akmil, Tilaar sering berbicara tentang bahaya disrupsi moral di era digital. Ia menilai, ancaman terbesar bagi bangsa bukan hanya serangan militer, tapi perpecahan akibat lemahnya karakter dan kebangsaan.

Itulah sebabnya, ia menggagas sejumlah program pembinaan mental dan kebangsaan yang lebih kontekstual: mengajarkan para taruna untuk aktif di dunia digital secara cerdas, menulis gagasan kebangsaan, hingga memahami etika bermedia sosial.

“Perwira masa depan harus paham algoritma, tapi tetap berpegang pada Pancasila,” tegasnya.

Warisan yang Ingin Ditinggalkan

Ketika ditanya apa yang ingin ia tinggalkan di Akmil, Tilaar menjawab sederhana: “Saya ingin meninggalkan budaya berpikir di sini.”

Baginya, lembaga pendidikan militer tidak boleh menjadi tempat yang hanya melahirkan prajurit kuat, tetapi juga melahirkan pemimpin bangsa yang visioner.

Tilaar berharap, setiap taruna yang lulus dari Magelang tak hanya mahir baris-berbaris, tapi juga punya kompas moral — tahu arah hidupnya, tahu untuk siapa mereka mengabdi.

Refleksi Seorang Jenderal

Menjelang sore, selepas latihan lapangan, Tilaar sering berjalan sendiri di antara barak. Ia memandang lapangan parade yang dulu ia lintasi tiga puluh tahun silam. Kini, dari tempat yang sama, ia melatih generasi baru.

“Dulu saya berdiri di sana, menatap para senior. Sekarang, saya berdiri di sini, menatap masa depan bangsa,” ujarnya pelan.

Dalam dirinya, tersimpan kesadaran sederhana tapi dalam: bahwa waktu berputar, tetapi nilai tidak boleh bergeser. Bahwa jabatan hanyalah amanah — dan pemimpin sejati adalah mereka yang sanggup meninggalkan jejak kebaikan bagi orang lain.

Rano Maxim Adolf Tilaar adalah potret langka seorang jenderal yang berpikir jauh ke depan tanpa kehilangan akar nilai. Ia datang dari dunia operasi, tapi kini menabur ilmu di dunia pendidikan.

Dari Kopassus ke Magelang, dari medan operasi ke podium pendidikan, perjalanan Tilaar adalah refleksi tentang bagaimana kekuatan sejati bukan pada otot, tetapi pada pikiran dan hati. (Mj)

News Feed